Minggu, 27 Juli 2008

KEGIATAN DITEMPAT MAGANG

Kegiatan Magang bulan oktober hanya membantu kegiatan tata usaha dan praktek KKPI,Saya juga izin magang selama 2 minggu karena mengikuti kuliah di provider.

Kamis, 15 Mei 2008

PEMANASAN GLOBAL


Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global – termasuk Indonesia – yang terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir abad 21.

Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb). Dalam makalah ini, fokus diberikan pada antisipasi terhadap dua dampak pemanasan global, yakni : kenaikan muka air laut (sea level rise) dan banjir.
Dampak Kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir terhadap Kondisi Lingkungan Bio-geofisik dan Sosial-Ekonomi Masyarakat.

Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut : (a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil.

Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi. Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.

Selasa, 13 Mei 2008

KEARIFAN LOKAL SANG GARDA ALAM

Leluhur Manusia Bali (Hindu) mewarisi generasinya dengan kearifan lokal untuk selalu menjaga lingkungannya. Kearifan ini merupakan refleksi dari ajaran luhur yang tertanam dari pohon yang bernama Hindu. Warisan yang tak ternilai harganya ini tidak saja tercermin dalam ritual-ritual semata, namun telah begitu mendarah daging dalam laku keseharian Manusia Bali. Ibarat benih, dia telah tersemai dalam setiap nafas Manusia Bali.
Tentunya, benih yang tersemai untuk menjaga harmonisasi manusia dengan sesamanya, manusia dengan alam lingkungannya serta manusia dengan penciptanya bukan sebatas kalimat sakral yang disuratkan dalam buku suci. Dia nyaris -bahkan telah- terimplikasikan sebagai bagian hidup meskipun disadari atau terkadang tidak oleh pelakunya. Disadari, karena sedikit banyak ajaran luhur tersebut telah mereka terima apa adanya untuk kemudian ditelaah kembali oleh penggunanya. Tidak disadari, karena ajaran tersebut telah menjadi tradisi yang tak terpisahkan dalam setiap langkah kehidupan yang memang harus mereka lakoni.
Laku Manusia Bali ini tercermin dalam tindak tanduk memperlakukan sesama ciptaan Tuhan. Dalam keseharian, ketika manusia Bali menebang pohon, menyemblih hewan, baik itu untuk keperluan ritual ataupun untuk bertahan hidup, tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Banyak hal yang harus dipertimbangkan dan tidak bisa disepelekan begitu saja. Apalagi mereka meyakini, semua mahluk memiliki idep (nyawa) yang berarti Tuhan ada dalam tiap mahluk. Menghormati nyawa dalam tiap mahluk sama halnya dengan sebuah cara untuk berbakti pada Tuhan. Tak heran bila dalam perlakuannya terhadap lingkungan (hewan atau tumbuhan), hari baik selalu dijadikan acuan atau pedoman. Doa-doa pun dikumandangkan, meskipun dengan bahasa bathin dengan harapan terjadinya harmonisasi kehidupan.
Sebut saja salah satu contoh nyata ketika manusia Bali memerlukan bambu. Mereka pantang menebangnya pada saat hari minggu. Pantangan ini sebisa mungkin mereka hindari untuk kelangsungan keberadaan bambu termasuk kualitas bambu. Contoh lainnya, Manusia Bali mensakralkan sejumlah pohon yang dinilai memiliki arti khusus. Barangkali kita sering melihat sejumlah pohon dibiarkan tumbuh meraksasa, tak peduli itu di tengah kota atau pemukiman padat. Beberapa diantaranya dilengkapi kain yang melilit batang sebagai wujud penghormatan.
Begitu pula dalam beberapa ritual yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu. Wujud penghormatan manusia Bali terhadap lingkungannya tergambar pada beberapa ritus, diantaranya Tumpek kandang dan Tumpek Pengarah. Dalam ritual ini, hewan dan tumbuhan kembali diposisikan sebagai sesama ciptaan Tuhan. Ego manusia yang konon sebagai mahluk ciptaan Tuhan paling mulia. Manusia sebagai bagian dari alam diingatkan bahwa mereka tidak hidup sendiri. Boleh jadi, ritual ini menjaga kesadaran bahwa manusia ada karena mahluk yang lainnya tetap terjaga. Manusia Bali diajarkan untuk menerima dan menjaga pemberian alam selayaknya menjaga keberadaan mereka di bumi.
Sikap yang terkesan sederhana dan tanpa makna ini barangkali kelihatan sepele di mata orang yang kurang paham. Bahkan, laku arif manusia Bali ini kerap dipandang miris, dicap sebagai pemuja berhala-lah, men-Tuhan-kan pohon tua-lah, serta sebutan miring lainnya. Mereka yang berpandang super dangkal seperti itu, sangat-lah tidakmenyadari jika sebagian "Kesegaran" nafas yang sampai saat ini masih bisa mereka hirup, karena ulah mereka-mereka yang tetap mempertahankan ajaran linuwih dari para pendahulunya. Mereka bisa melihat hijaunya bumi karena pohon-pohon yang menjadi rumah bagi burung-burung tetap ada dan sikap arif pula yang menjaganya.
Pertanyaannya, masihkah kearifan itu mengalir dalam darah manusia Bali di tengah persaingan hidup dan gempuran modernitas yang menjajikan kenikmatan serba instan? Masihkah benih-benih penebar harmoni alam tumbuh di jaman yang memaksa penghuni bumi untuk berlomba-lomba mengeksplorasi alam tanpa ampun serta di tengah gempuran manusia yang menyepelekan sebuah kearifan lokal? Disadari atau tidak, saat ini manusia telah mengiring jaman melawan alam. Ketika alam memberi, manusia justru berupaya merebut paksa.
Disinilah, kearifan lokal dikedepankan dan diberi ruang sebagai salah satu garda alam yang masih tersisa dan terbukti. bukankah sesuatu yang menyelamatkan kita adalah dewa atau malaikat bagi yang diselamatkan. Ada baiknya kembali merenungkan kata bijak : Dimana pohon-pohon dan binatang menemukan surga, disanalah sungai mengalir. Di mana Sungai mengalir, disanalah kehidupan mengeliat.

Sabtu, 19 April 2008

Tentang ICT Jembrana

ICT Jembrana bertempat di SMK N 1 Negara yang alamatnya di Jalan Tanjung Raya Baler Bale Agung-Negara. Saat ini ICT Jembrana sudah memiliki 21 buah komputer yang sudah terkoneksi dengan internet. Mahasiswa dari Jembrana berjumlah 31 orang, dimana Gelombang 1 dan 2. ICT Jembrana biasanya digunakan sebagai tempat untuk membicarakan tentang materi perkuliahan dan kegiatan lain seperti pendataan sekolah di Kabupaten Jembrana.