Selasa, 13 Mei 2008

KEARIFAN LOKAL SANG GARDA ALAM

Leluhur Manusia Bali (Hindu) mewarisi generasinya dengan kearifan lokal untuk selalu menjaga lingkungannya. Kearifan ini merupakan refleksi dari ajaran luhur yang tertanam dari pohon yang bernama Hindu. Warisan yang tak ternilai harganya ini tidak saja tercermin dalam ritual-ritual semata, namun telah begitu mendarah daging dalam laku keseharian Manusia Bali. Ibarat benih, dia telah tersemai dalam setiap nafas Manusia Bali.
Tentunya, benih yang tersemai untuk menjaga harmonisasi manusia dengan sesamanya, manusia dengan alam lingkungannya serta manusia dengan penciptanya bukan sebatas kalimat sakral yang disuratkan dalam buku suci. Dia nyaris -bahkan telah- terimplikasikan sebagai bagian hidup meskipun disadari atau terkadang tidak oleh pelakunya. Disadari, karena sedikit banyak ajaran luhur tersebut telah mereka terima apa adanya untuk kemudian ditelaah kembali oleh penggunanya. Tidak disadari, karena ajaran tersebut telah menjadi tradisi yang tak terpisahkan dalam setiap langkah kehidupan yang memang harus mereka lakoni.
Laku Manusia Bali ini tercermin dalam tindak tanduk memperlakukan sesama ciptaan Tuhan. Dalam keseharian, ketika manusia Bali menebang pohon, menyemblih hewan, baik itu untuk keperluan ritual ataupun untuk bertahan hidup, tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Banyak hal yang harus dipertimbangkan dan tidak bisa disepelekan begitu saja. Apalagi mereka meyakini, semua mahluk memiliki idep (nyawa) yang berarti Tuhan ada dalam tiap mahluk. Menghormati nyawa dalam tiap mahluk sama halnya dengan sebuah cara untuk berbakti pada Tuhan. Tak heran bila dalam perlakuannya terhadap lingkungan (hewan atau tumbuhan), hari baik selalu dijadikan acuan atau pedoman. Doa-doa pun dikumandangkan, meskipun dengan bahasa bathin dengan harapan terjadinya harmonisasi kehidupan.
Sebut saja salah satu contoh nyata ketika manusia Bali memerlukan bambu. Mereka pantang menebangnya pada saat hari minggu. Pantangan ini sebisa mungkin mereka hindari untuk kelangsungan keberadaan bambu termasuk kualitas bambu. Contoh lainnya, Manusia Bali mensakralkan sejumlah pohon yang dinilai memiliki arti khusus. Barangkali kita sering melihat sejumlah pohon dibiarkan tumbuh meraksasa, tak peduli itu di tengah kota atau pemukiman padat. Beberapa diantaranya dilengkapi kain yang melilit batang sebagai wujud penghormatan.
Begitu pula dalam beberapa ritual yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu. Wujud penghormatan manusia Bali terhadap lingkungannya tergambar pada beberapa ritus, diantaranya Tumpek kandang dan Tumpek Pengarah. Dalam ritual ini, hewan dan tumbuhan kembali diposisikan sebagai sesama ciptaan Tuhan. Ego manusia yang konon sebagai mahluk ciptaan Tuhan paling mulia. Manusia sebagai bagian dari alam diingatkan bahwa mereka tidak hidup sendiri. Boleh jadi, ritual ini menjaga kesadaran bahwa manusia ada karena mahluk yang lainnya tetap terjaga. Manusia Bali diajarkan untuk menerima dan menjaga pemberian alam selayaknya menjaga keberadaan mereka di bumi.
Sikap yang terkesan sederhana dan tanpa makna ini barangkali kelihatan sepele di mata orang yang kurang paham. Bahkan, laku arif manusia Bali ini kerap dipandang miris, dicap sebagai pemuja berhala-lah, men-Tuhan-kan pohon tua-lah, serta sebutan miring lainnya. Mereka yang berpandang super dangkal seperti itu, sangat-lah tidakmenyadari jika sebagian "Kesegaran" nafas yang sampai saat ini masih bisa mereka hirup, karena ulah mereka-mereka yang tetap mempertahankan ajaran linuwih dari para pendahulunya. Mereka bisa melihat hijaunya bumi karena pohon-pohon yang menjadi rumah bagi burung-burung tetap ada dan sikap arif pula yang menjaganya.
Pertanyaannya, masihkah kearifan itu mengalir dalam darah manusia Bali di tengah persaingan hidup dan gempuran modernitas yang menjajikan kenikmatan serba instan? Masihkah benih-benih penebar harmoni alam tumbuh di jaman yang memaksa penghuni bumi untuk berlomba-lomba mengeksplorasi alam tanpa ampun serta di tengah gempuran manusia yang menyepelekan sebuah kearifan lokal? Disadari atau tidak, saat ini manusia telah mengiring jaman melawan alam. Ketika alam memberi, manusia justru berupaya merebut paksa.
Disinilah, kearifan lokal dikedepankan dan diberi ruang sebagai salah satu garda alam yang masih tersisa dan terbukti. bukankah sesuatu yang menyelamatkan kita adalah dewa atau malaikat bagi yang diselamatkan. Ada baiknya kembali merenungkan kata bijak : Dimana pohon-pohon dan binatang menemukan surga, disanalah sungai mengalir. Di mana Sungai mengalir, disanalah kehidupan mengeliat.

Tidak ada komentar: